Penyebaran pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-2019) telah mendorong banyaknya klaim-klaim kontroversial mengenai virus yang secara resmi dinamakan SARS-CoV 2, di berbagai media sosial. Salah satunya datang dari mantan Menteri Kesehatan di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009) dalam video wawancaranya dengan Deddy Corbuzier.
Dalam video berdurasi 25:47 menit tersebut, Ibu Siti Fadilah Supari menyampaikan berbagai informasi terkait keputusannya tidak melanjutkan kerjasama dengan WHO untuk pembuatan vaksin H5N1. Selain itu, dalam kesempatan yang sama beliau juga menyampaikan bahwa dirinya tidak bersalah dalam kasus yang memenjarakannya pada tahun 2017. Sejak awal dipublikasikannya pada 21 Mei 2020, video tersebut telah disaksikan oleh 7 juta orang dan mendulang 337 ribu likes (hingga tulisan ini dibuat pada 18 Juni 2020).
Dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas dengan detail argumentasi beliau yang menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah pada kasus korupsi alat kesehatan yang merugikan negara sebesar Rp 6M karena rincian dari fakta-fakta persidangan telah disediakan dengan detil oleh Sabir Laluhu dalam Runtuhnya Argumentasi Konspirasi Perkara Siti Fadilah yang dimuat di Kumparan pada 31 Mei 2020 yang lalu.
Di bagian pertama dari tulisan saya, saya ingin membahas terlebih dahulu trend jurnalisme Indonesia yang saya lihat hampir tidak pernah berubah ke arah yang lebih baik. Jurnalis maupun media massa Indonesia memiliki kecenderungan "memakan mentah-mentah" pernyataan-pernyataan berisi klaim, baik dari pihak Fadilah maupun Deddy Corbuzier yang dilansir baik sebelum maupun setelah video youtube tersebut ditayangkan.
Jurnalis maupun media massa seolah kurang berhati-hati dan menafikan disiplin pada verifikasi seperti yang digaungkan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku "The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect". Jurnalis maupun media massa berpuas diri dengan sengaja mengambil dan menulis begitu saja omongan Fadilah tanpa membandingkannya dengan fakta-fakta persidangan atau pertimbangan putusan saat kasus ini berlangsung.
Siti Fadilah againsts the world (WHO)
Yang langsung menarik perhatian saya saat mengikuti video tersebut adalah klaim bahwa Fadilah tidak melakukan korupsi dan tidak ada saksi yang bisa memastikan adanya perbuatan korupsi Fadilah. Atau jika saya tulis ulang dengan frasa yang lebih dramatis, Fadilah diperkarakan dan menjadi korban kezaliman atau konspirasi akibat tidak bisa diatur dan melawan pihak barat seperti WHO. Tapi benarkah demikian?
Klaim-klaim seperti itu seharusnya dapat dengan mudah dibantah dan terbantahkan dengan sendirinya jika kita mau kembali bersusah payah sedikit untuk menengok ke belakang dan melihat fakta-fakta yang muncul saat proses persidangan yang berlangsung selama lebih dari tiga bulan (Februari - Juni 2017) di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Dari sisi jurnalistik, kemampuan Deddy dan timnya mengakali dan menerabas penjagaan yang dilakukan petugas saat masa pembantaran perawatan Fadilah di rumah sakit patut diacungi jempol. Saya menganggap kemampuan seperti inilah yang harusnya dimiliki jurnalis-jurnalis profesional yang melakukan investigasi atau peliputan berita yang mendalam.
Namun, kekaguman saya ini menguap dalam kurang dari 15 menit pertama saya mendengarkan isi percakapan mereka. Sejak awal video, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Deddy kurang berbobot serta tidak berbasis pada data, fakta riil, dan bukti yang nyata. Semuanya hanya berbasis asumsi semata. Saya melihat seolah Deddy dibohongi oleh Fadilah tentang perkara korupsi yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum.
Seharusnya, Deddy dengan mudah dapat mengunduh salinan putusan pengadilan atas nama Fadilah dari Direktori Putusan Mahkamah Agung dan membacanya sebelum akhirnya memutuskan untuk membuat wawancara tersebut.
Jika memang Fadilah, atau pihak manapun, yang merasa bahwa kasus perkara yang menyeret dirinya hanyalah konspirasi belaka, Fadilah tidak melakukan korupsi, dan beliau hanya menjadi korban penzaliman, silahkan tunjukkan bukti, data, dan fakta yang riil. Tanpa adanya bukti, data, dan fakta riil, apa bedanya pernyataan beliau dengan gosip ibu-ibu kompleks?
Tanpa adanya bukti-bukti yang kuat, teori konspirasi atau penzaliman terhadap Fadilah karena dirinya berani melawan pihak barat (WHO) hanyalah isapan jempol belaka. Jika memang ada bukti, data, ataupun fakta riil, ajukan saja sebagai novum untuk peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Bukankah hukum di Indonesia membolehkan seorang terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan PK berkali-kali?
Klaim-klaim kontroversial
Selain klaim-klaim yang berkaitan dengan kasus korupsi yang menjerat Fadilah di tahun 2017 lalu, saya juga ingin menanggapi klaim-klain lain yang beliau sampaikan dalam video tersebut.
Dalam menit keenam, Fadilah mengatakan bahwa, "Saya membuktikkan bahwa virus flu burung tidak menular. Waktu itu, WHO sudah berkoar-koar mengatakan bahwa flu burung menular, human to human transmission".
Menurut hasil temuan pribadi, infeksi H5N1 pada manusia memang umumnya disebabkan oleh penularan virus dari binatang ke manusia. Namun ada beberapa kasus khusus yang terjadi di mana setidaknya ada tiga kasus penularan antar-manusia, seperti yang dilaporkan oleh Dr. Julie L Gerberding, direktur Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di Atlanta pada 24 Mei 2006.
Pada 30 Mei, Maria Cheng, juru bicara WHO saat itu mengatakan ada sekitar setengah lusin kasus penularan antar-manusia. Kasus-kasus penularan antarmanusia salah satunya terjadi antar-anggota keluarga di Sumatera pada Juni 2006.
Seperti yang ditulis Bloomberg pada saat itu, UN tidak dapat menemukan hewan yang dicurigai sebagai penyebab penyebaran virus H5N1. Maka dari itu, UN menyampaikan kemungkinan transmisi virus terjadi antar-manusia.
Seiring berkembangnya penelitian terhadap H5N1, WHO menuliskan pada 2012 bahwa hampir semua kasus infeksi H5N1 pada manusia dikaitkan dengan kontak dengan unggas. Baik hidup maupun mati, yang terinfeksi atau lingkungan yang terkontaminasi H5N1. Lagi menurut WHO, virus tidak begitu saja menginfeksi manusia. Kemudian penyebarannya antar-manusia dianggap sebagai kasus yang tidak biasa. Sejauh ini, tidak ada bukti bahwa H5N1 dapat menyebar melalui makanan, khususnya daging yang telah dimasak.
Sepanjang video, Siti Fadilah beberapa kali menyebut "pandemi flu burung". Sejauh yang saya temukan, sejak 2004 hingga 2007, flu burung H5N1 tidak pernah menjadi pandemi. Meski memang, lembaga kesehatan dan peneliti kerap mengingatkan kesiapan kita semua menghadapi ancaman pandemi H5N1.
Langkah politik Siti Fadilah sempat diulas oleh peneliti Shahar Hameiri dalam artikelnya yang berjudul "Avian influenza, 'viral sovereignity', and the politics of health security in Indonesia" sebagai upaya melindungi kedaulatan nasional. Namun, perseteruan antara pemerintah Indonesia dengan WHO bisa dilihat sebagai adanya maksud tertentu dari aktor politik untuk mencapai tujuan politik tertentu.
Hal berikutnya yang Fadilah klaim bahwa orang Indonesia memiliki antibodi yang kuat ketika virus H5N1 melanda. "Pada waktu flu burung, antibodi orang Indonesia itu sangat luar biasa", ungkapnya pada menit ke 11:34. Namun, berdasarkan fakta yang tersedia, dari 2005 hingga 2019, ada 200 kasus H5N1 yang menyebabkan 168 kematian. Dengan demikian, fatality rate flu burung di Indonesia mencapai 84%. Dan Indonesia berada pada posisi pertama negara untuk tingkat kasus kematian akibat flu burung selama periode 2003-2009. Inikah keberhasilan yang Fadilah bicarakan berulang kali dalam wawancara tersebut?
Pada menit 6:58, Siti mengklaim, "Saya nyetop flu burung tidak dengan vaksin, tapi dengan politik.". Hal itu terkait keputusannya untuk berhenti mengirimkan spesimen virus flu burung ke laboratorium WHO pada November 2006 karena takut pengembangan vaksin yang lalu dijual ke negara-negara berkembang, dengan Amerika Serikat mendapat keuntungan dan Indonesia tidak mendapat apa-apa.
Namun fakta di lapangan berkata lain. Pada 28 Maret 2007, Indonesia mengumumkan telah mencapai kesepakatan dengan WHO untuk memulai pengiriman virus dengan cara baru untuk memberikan akses vaksin terhadap negara berkembang. Siti Fadilah mengkonfirmasi pada 15 Mei 2007 bahwa Indonesia kembali mengirimkan sample H5N1 ke laboratorium WHO.
Poin terakhir yang ingin saya bahas sebelum menutup tulisan ini adalah tudingan Fadilah yang tertuju pada Bill Gates di mana ia mengungkapkan adanya kemungkinan bahwa virus Corona sengaja diciptakan dan penolakannya terhadap vaksin dari Bill Gates. Beliau beralasan, Bill Gates merupakan seorang pengusaha, bukan akhli kedokteran. Fadilah juga menaruh kecurigaan pada Bill Gates karena menurutnya, Gates telah memprediksi adanya pandemi dan seluruh dunia akan membutuhkan vaksin. Pernyataan tersebut berbasiskan presentasi yang Gates lakukan pada tahun 2015 di konferensi TED.
Jika kita mengikuti keseluruhan isi dari apa yang Gates sampaikan pada 2015, dengan jelas pesan yang dibawa oleh Gates adalah pentingnya meningkatkan kesadaran untuk mempersiapkan diri menghadapi wabah berikutnya. Presentasi yang Gates lakukan pada 2015 terjadi setelah adanya wabah Ebola yang merebak pada tahun 2014.
So, what?
Jurnalis, media massa, hingga pembaca/pendengar, banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi. Bagi jurnalis dan media massa, disiplin dan verifikasi harus dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dan kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan saat menyajikan berita. Di meja redaksi, baiknya juga dipastikan apakah pernyataan pihak tertentu dan pernyataan terpidana khususnya terpidana korupsi setelah sekian lama putusan berkekuatan hukum tetap boleh dikutip dan apa saja batasannya. Karena jangan sampai sebuah kejadian nyata dibuat menjadi niskala.
Berbagai pernyataan dari sejumlah pihak bahwa Fadilah tidak bersalah dan tidak melakukan korupsi, ditambah pernyataan Fadilah saat wawancara dengan Deddy, maupun afirmasi yang disampaikan Deddy boleh dibilang ingin menarik simpati dan empati publik. Hal ini bisa dilihat bagaimana Fadilah digambarkan sebagai sosok pahlawan yang berjasa dan berhasil melawan konspirasi pihak Barat - WHO - saat terjadi penyebaran wabah virus flu burung, yang kemudian dikorbankan dan dizalimi dengan perkara yang dibuat-buat. Ketika simpati dan empati publik terbentuk, maka opini publik dengan sendirinya akan tergiring. Hal ini terbukti dengan munculnya hashtag #BebaskanSitiFadilah di media sosial. Hal ini membuktikan bahwa Fadilah, begitu juga Deddy, telah berhasil menarik emosi, simpati, dan empati publik.
Terakhir, berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa berbagai klaim yang dibuat Siti Fadilah dalam video wawancaranya dengan Deddy Corbuzier bersifat sebagian salah dan menyesatkan. Let's be smart together.
Dea Putri - S.A.D Team
Comments